Umar berkata,” Aku hampir mengira bahwa tetanggaku berhak
atas harta warisanku. Karena begitu
seringnya Nabiullah berpesan untuk memuliakan mereka”.
Tetangga adalah orang-orang yang terdekat dengan
kita. Dalam Islam diisyaratkan bahwa
yang disebut tetangga adalah 40 rumah di
depan, 40 rumah di belalang, 40 rumah di samping kanan dan 40 rumah di samping
kiri. Waah banyak ya…. Coba sekarang
kita hitung berapa tetangga yang sudah kita kenal dengan baik. Berapa tetangga yang sudah pernah kita
kunjungi. Dan berapa tetangga yang punya
hubungan cukup dekat. Dan juga berapa tetangga yang sudah kita sayangi dan
kita anggap sebagai saudara sendiri.
Hehehe…. Malu ya. Ternyata yang
sudah kita kenal saja masih jauh dari target.
Apalagi yang sudah kita kunjungi…..jauh lebih sedikit. Yang sudah kita anggap saudara ….aahhh,,,
ada siih satu atau dua. Padahal Nabi
Muhammad pernah berpesan agar setiap kali kita memasak sayur yang menimbulkan
aroma yang kuat, maka hendaknya lebihkan kuahnya agar dapat dibagikan kepada
tetangga. Waah,, apalagi yang itu. Tradisi berbagi makanankepada tetangga
mungkin masih kita rasakan waktu kita masih duduk di Sekolah Dasar dulu di era
70 an. Dan tradisi itu sudah lama
sekali mulai ditinggalkan secara bertahap oleh masyarakat. Terutama oleh masyarakat yang sudah
mengidentikkan dririnya dengan masyarakat perkotaan.
Ternyata kehidupan kita sekarang, dari unsure yang paling dekat saja sudah sangat jauh dari
apa yang sudah dicontohkan Nabi. Wajar
jika kemudian semua permasalah bangsa menjadi semakin rumit dan
berputar-putar. Karena elemen terkecil
dari masyarakat tidak lagi memenuhi apa yang telah dituntunkan. “HORMATI TETANGGA” tentu bukan hanya slogan yang mengharuskan
kita tersenyum setiap melewati rumah tetangga.
Walaupun tata karma paling sepele inipun juga sudah mulai pudar. Sebagian besar dari kita sudah menutup
jendela mobil sejak keluar dari pagar rumah.
sampai-sampai tidak ada tetanggaa yang tahu pasti, sebenarnya siapa
tetangganya. Apalagi kalau slogannya kita
geser sedikit menjadi “MARI PEDULI TETANGGA”.
Waah, semakin jauh dari
aplikasinya.
Saya bersyukur bahwa saya tinggal di wilayah pedesaan
yang tetangganya satu sama lain masih saling menyapa. Dalam masyarakat yang semacam ini, maling
sendalpun tidak bisa lolos di kampung kami.
Karena setiap orang yang melintasi jalan akan ditegur dengan kalimat
klise “Mau kemana Neng ?”. “Mau kemana Pak/Bu?”. Walaupun akhir-akhir ini karena perkembangan
kota Tangsel yang sangat pesat, akhirnya desa damai kamipun ikut menjadi
incaran para pengembang perumahan-perumahan kecil/cluster. Anak saya menyebut cluster-cluster itu sebagai
“rumah penjara” .
“Mama ada rumah penjara baru tuh sudah mulai dihuni”
“Hush, gak boleh ngomong gitu. Nanti kalau orangnya dengar marah lho”
“Mereka gak bakalan dengar Ma. Lha wong pagar tingginya aja gak pernah
dibuka”
Cluster-cluster ini biasanya dibangun 6-10 rumah. Dengan tembok tinggi dan pagar kokoh yang
selalu tertutup. Pagarnya pun diberi
pembatas fiber gelap, sehingga kita yang lewat tidak bisa melihat aktifitas
apapun yang ada di dalam cluster tersebut.
Sampai saat ini sih saya tidak merasa punya kepentingan
apapun dengan kehadiran cluster-cluster tersebut. Tetapi sejak adanya mereka saya menjadi
semakin menyadari petapa pentingnya membangun kembali semangat
bertetangga. Akhirnya di acara pengajian
kami menggagas dimulainya “GERAKAN PEDULI TETANGGA”. Kami YAYASAN INSAN INDONESIA BERKARYA bekerja
sama dengan BKMT (Badan Kordinasi Majelis Taklim) mencoba menggugah masayarakat
terutama ibu-ibu untuk kembali kepada peduli kepada tetangganya. Setiap ibu kami minta menyetorkan data kondisi
tetangga-tetangganya yang sangat perlu dibantu.
Data itu kami bagi menjadi 5 kondisi utama yang sangat perlu dibantu,
meliputi : anak putus sekolah, rumah tidak layak huni, lansia tidak terurus,
orang sakit yang tidak dapat berobat, anak yatim/duafa yang sangat membutuhkan
bantuan untuk biaya sekolah. Dari data
tersebut maka kami akan dapat memetakan kondisi wilayah dan tindakan apa yang bisa
diambil. Kami tidak membawa uang
sepeserpun. Kami hanya menghimbau para
ibu yang berada di majelis taklim untuk peduli pada tetangganya. Dengan bermodal hadist, “Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah ia memuliakan tetangganya”.
Walaupun
program serupa itu juga sudah menjadi program Pemerintah Daerah, tapi pada
aplikasinya masih banyak masyarakat yang tidak terjangkau. Kami melihat bahwa kegemaran ibu-ibu berkumpul di
pengajian-pengajian kecil /taklim ini adalah sebuah potensi besar. Belum ada riwayatnya pengajian serupa itu
yang pernah bubar karena kekurangan jamaah.
Mereka solid dan sangat patuh kepada pimpinannya. Oleh karena itu saya yakin bahwa gerakan ini
akan berhasil dengan atas dukungan ibu-ibu anggota majelis taklim. Kami sebatas memberikan himbauan agar dalam
setiap pertemuan mereka menyishkan rejekinya 1000-2000 untuk dikumpulkan dalam
kas “PEDULI TETANGGA”.
Tidak semua perempuan bisa berkiprah di kancah politik, karier atau bisnis. Tapi setiap perempuan bisa menjadi pelopor kepedulian kepada tetangganya. Jadi setiap perempuan yang berdaya akan memberdayakan 160 KK yang ada disekitarnya. Semoga semangat ini akan terus bertahan. Dan 10-20 tahun yang akan datang, kita tidak akan menemui lagi perempuan dan masyarakat yang tidak berdaya.
Ini hanya langkah yang sangat
kecil. Tapi dari sinilah kita dapat ikut memulai merubah negeri ini.
Ini hanyalah gerakan akar rumput. Gerakan yang dilakukan oleh
masyarakat sebatas kemampuannya. Tapi setiap gerakan baik adalah
magnit. Yang akan menularkan dan menarik kebaikan yang
lain. Kebaikan-kebaikan kecil yang akhirnya terhimpun, insyaallah akan
menjadi potensi besar untuk dapat ikut memberikan perubahan baik bagi Negara
yang kita cintai bersama ini...... aamiiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar