Jumat, 08 Februari 2013
Selasa, 05 Februari 2013
Regenerasi PETANI
Bisakah kita bayangkan jika 20-30 tahun yang akan datang
tidak ada lagi pemuda yang tertarik untuk menjadi petani, peternak, petambak
atau nelayan. Atau dengan kata lain sektor
agraris mejadi hal yang tidak lagi menarik bagi generasi muda. Saat
dimana generasi muda lebih memilih untuk bekerja menjadi buruh, tukang ojek atau bekerja di sektor-sektor
informal sebagai pedagang kecil-kecilan dan lain-lain. Saat inipun sebenarnya sudah menggambarkan
krisis ketertarikan tersebut.
Desa-desa mulai ditinggalkan.
Daerah-daerah pesisir dan pedalaman mulai kehilangan pemudanya. Dan para petani, peternak dan nelayan mulai
menasehatkan kepada anaknya, “Sekolahlah yang benar Nak, agar suatu saat nanti
kamu dapat menjadi orang yang berhasil tidak seperti bapak yang hanya menjadi
petani/nelayan”. Nelayan/petani yang
beruntung bisa menyekolahkan anaknya berharap suatu saat nanti anaknya akan
dapat menjadi pegawai dan bukan
nelayan/petani seperti dirinya. Gambaran
hidup menjadi petani atau nelayan menjadi menakutkan dan tidak menjadi
alternatif pilihan hidup.
Jadi dapatkah dapatkah anda bayangkan jika 20-30 tahun yang
akan datang tidak ada lagi beras, ikan, sayur mayur dan buah-buahan yang diproduksi di dalam negeri. Semua harus diimport dan didatangkan dari negara
lain. Maka makan ikan asin dengan sayur
bayam sekalipun akan menjadi sajian yang mewah.
Tidak ada lagi sayur mayur, buah, beras, ikan, ayam, atau telur yang
bisa dibeli dengan harga murah.
Bagi mereka yang punya uang mungkin bisa bilang tidak peduli. Tapi masihkah mereka tidak peduli jika orang
di sekitarnya menjadi orang-orang yang buas karena kelaparan. Mudah-mudahan tidak ya. Dan mudah-mudahan juga kondisi itu tidak akan
terjadi. Tetapi gambaran pahit itu bukan
berarti tidak mungkin terjadi di negara kita yang gemah ripah loh jinawi
ini. Di negara yang digambarkan sebagai
surganya agribisnis karena tanaman apapun bisa tumbuh dengan subur. Tapi sumberdaya alam yang subur ini tidak
berarti apa-apa tanpa ada yang menggarap.
Sebelum terlambat….maka sekaranglah saatnya peduli.
Saya pun sebagai alumni IPB, sangat-sangat malu karena sejak
dulu tidak memilih untuk menggeluti sektor pertanian sebagai lahan bisnis
maupun lahan saya dalam berkarya. Baru dua
tahun belakangan ini, bersama dengan PKBM INSAN KARYA, kami mulai membangun kembali
semangat untuk menggerakkan sektor agraris.
Dimulai dari budidaya ikan air
tawar, peternakan ayam kecil-kecilan dan penanaman sayur-mayur secara tumpang
sari.
Kami memulai usaha ini sebagai bagian dari unit usaha PKBM INSAN KARYA dengan semangat membangkitkan kembali
ketertarikan pemuda dalam sektor agraris.
Karena itu kami memilih bentuk usahanya sebagai kelompok tani. Kami menamakannya Kelompok Tani Mina Insan Karya. Kami mulai dengan menggabungkan 12 semangat
anak-anak muda yang didalamnya.
Mudah ?....tentu tidak.
Setelah memasuki sendiri sektor ini, kami baru menyadari betapa kerasnya
perjuangan petani/peternak. Dengan modal
yang tidak bisa dibilang kecil, kami harus berhadapan dengan tingkat spekulasi
yang sangat tinggi. Kondisi alam, cuaca,
hama, penyakit menjadi hal yang bisa datang tiba-tiba seperti sebuah bencana
alam.
Kami dapat pelajaran pertama dengan hilangnya benih-benih
lele hanya satu minggu setelah ditabur karena air sungai yang meluap. Kami tidak pernah menyangka bahwa kondisi
empang yang cukup dalam, masih bisa meluap ketika hujan sangat lebat. Setelah itu baru kami memasang paranet
disekitar empang.
Sedih ? ….. sangat.
Beberapa anggota kelompok tani malah memutuskan untuk keluar, karena
merasa tidak yakin bahwa usaha budidaya ini akan berhasil. Padahal pola usaha yang kami tawarkan sudah
sangat memihak kepada petani penggarap.
Sebagai pemodal (Yayasan Insan Indonesia Berkarya), kami berkewajiban menyediakan tanah, benih dan
pakan. Dan sebagai petani penggarap
mereka berkewajiban untuk memelihara dan merawat ikan yang kita budidayakan
sampai siap dipanen. Pada saat panen
nanti pemodal hanya mendapatkan 30% dari keuntungan bersih dan petani penggarap
mendapat sisanya.
Jika anda bertanya apa yang kami dapatkan dalam hampir 2 tahun
ini. Secara materi…..tidak ada. Tapi kami mendapat kepuasan atas
terlaksananya idealisme kami untuk turut mengambil peran dalam lahirnya kembali
petani-petani dan peternak-peternak muda.
Dan satu pelajaran yang sangat penting yang tidak akan kami lupakan
adalah bahwa para petani dan peternak dan juga nelayan tentunya adalah
pahlawan-pahlawan yang telah mengorbankan hidupnya untuk menjamin kelangsungan
hidup kita semua. Mereka rela jauh dari
kemewahan. Jauh dari kemajuan. Jauh dari kenyamanan dan juga jauh dari rasa
aman. Hidup mereka seperti
bertaruh. Bertaruh dengan alam. Bertaruh dengan cuaca dan bertaruh dengan
hama dan penyakit. Tidak yang dapat
dipastikan dalam hidup mereka. Ketika
mereka berupaya sepanjang hidupnya untuk menjamin kita kenyang, mereka sendiri
terkadang tidak tahu, harus makan apa besok.
Hiks….sedih. padahal
masih banyak dari kita yang tidak pernah rela membayar lebih untuk semua sayur,
buah atau ikan yang dijual dipasar. Kita
hanya ingin semua tersedia dalam harga murah.
Maka saat ini, ditengah hujan yang deras menguyur negri….. marilah kita
ingat petani yang sedang sibuk membajak
tanah tanpa memperdulikan badannya telah menyatu dalam lumpur dan hujan.
Saya pribadi sangat berharap dan berdoa agar suatu saat
nanti pemerintah kita dan kita semua menjadi sangat peduli terhadap sektor pertanian. Dan suatu saat nanti petani –petani kita dapat hidup sejahtera, dan dapat
menggarap lahannya dengan bantuan teknologi modern. Sehingga kita tidak perlu ketakutan dengan
pepatah “tikus mati di lumbung padi”.
.
Seharusnya menjadi hal yang aneh jika tanah yang subur dan
luas ini tidak menjadi hal yang menarik untuk diusahakan sebagai lahan
produksi. Dalam sebuah lagu malah
digambarkan “Tongkat dan batu pun jadi tanaman”. Saya bukan orang pandai yang bisa
merekomendasikan langkah-langkah akurat yang bisa diambil oleh pemerintah. Saya hanya berharap suatu saat nanti
pemerintah dan kita semua menjadi sangat
peduli terhadap sektor pertanian.
Dan suatu saat nanti petani –petani
kita dapat hidup sejahtera, dan dapat menggarap lahannya dengan bantuan
teknologi modern. Sehingga kita tidak
perlu ketakutan dengan pepatah “tikus mati di lumbung padi” dan tidak ada lagi
gambaran yang mengidentikkan petani/nelayan dengan kemiskinan.
Tulisan ini saya buat hanya untuk menyentuh setiap hati agar
peduli kepada petani/peternak dan nelayan.
Mudah-mudahan kepedulian itu akan menjadi tindakan nyata…..kecil atau
besar, untuk menolong petani menjadi lebih sejahtera. Dan juga membujuk para pemuda untuk kembali tertarik
kepada sektor agraris. Sehingga 10 tahun
yang akan datang kita akan mendapati siswa-siswa di Sekolah Dasar menuliskan
cita-citanya sebagai “petani”, “peternak” atau nelayan”
Gerakan PEDULI TETANGGA
Umar berkata,” Aku hampir mengira bahwa tetanggaku berhak
atas harta warisanku. Karena begitu
seringnya Nabiullah berpesan untuk memuliakan mereka”.
Tetangga adalah orang-orang yang terdekat dengan
kita. Dalam Islam diisyaratkan bahwa
yang disebut tetangga adalah 40 rumah di
depan, 40 rumah di belalang, 40 rumah di samping kanan dan 40 rumah di samping
kiri. Waah banyak ya…. Coba sekarang
kita hitung berapa tetangga yang sudah kita kenal dengan baik. Berapa tetangga yang sudah pernah kita
kunjungi. Dan berapa tetangga yang punya
hubungan cukup dekat. Dan juga berapa tetangga yang sudah kita sayangi dan
kita anggap sebagai saudara sendiri.
Hehehe…. Malu ya. Ternyata yang
sudah kita kenal saja masih jauh dari target.
Apalagi yang sudah kita kunjungi…..jauh lebih sedikit. Yang sudah kita anggap saudara ….aahhh,,,
ada siih satu atau dua. Padahal Nabi
Muhammad pernah berpesan agar setiap kali kita memasak sayur yang menimbulkan
aroma yang kuat, maka hendaknya lebihkan kuahnya agar dapat dibagikan kepada
tetangga. Waah,, apalagi yang itu. Tradisi berbagi makanankepada tetangga
mungkin masih kita rasakan waktu kita masih duduk di Sekolah Dasar dulu di era
70 an. Dan tradisi itu sudah lama
sekali mulai ditinggalkan secara bertahap oleh masyarakat. Terutama oleh masyarakat yang sudah
mengidentikkan dririnya dengan masyarakat perkotaan.
Ternyata kehidupan kita sekarang, dari unsure yang paling dekat saja sudah sangat jauh dari
apa yang sudah dicontohkan Nabi. Wajar
jika kemudian semua permasalah bangsa menjadi semakin rumit dan
berputar-putar. Karena elemen terkecil
dari masyarakat tidak lagi memenuhi apa yang telah dituntunkan. “HORMATI TETANGGA” tentu bukan hanya slogan yang mengharuskan
kita tersenyum setiap melewati rumah tetangga.
Walaupun tata karma paling sepele inipun juga sudah mulai pudar. Sebagian besar dari kita sudah menutup
jendela mobil sejak keluar dari pagar rumah.
sampai-sampai tidak ada tetanggaa yang tahu pasti, sebenarnya siapa
tetangganya. Apalagi kalau slogannya kita
geser sedikit menjadi “MARI PEDULI TETANGGA”.
Waah, semakin jauh dari
aplikasinya.
Saya bersyukur bahwa saya tinggal di wilayah pedesaan
yang tetangganya satu sama lain masih saling menyapa. Dalam masyarakat yang semacam ini, maling
sendalpun tidak bisa lolos di kampung kami.
Karena setiap orang yang melintasi jalan akan ditegur dengan kalimat
klise “Mau kemana Neng ?”. “Mau kemana Pak/Bu?”. Walaupun akhir-akhir ini karena perkembangan
kota Tangsel yang sangat pesat, akhirnya desa damai kamipun ikut menjadi
incaran para pengembang perumahan-perumahan kecil/cluster. Anak saya menyebut cluster-cluster itu sebagai
“rumah penjara” .
“Mama ada rumah penjara baru tuh sudah mulai dihuni”
“Hush, gak boleh ngomong gitu. Nanti kalau orangnya dengar marah lho”
“Mereka gak bakalan dengar Ma. Lha wong pagar tingginya aja gak pernah
dibuka”
Cluster-cluster ini biasanya dibangun 6-10 rumah. Dengan tembok tinggi dan pagar kokoh yang
selalu tertutup. Pagarnya pun diberi
pembatas fiber gelap, sehingga kita yang lewat tidak bisa melihat aktifitas
apapun yang ada di dalam cluster tersebut.
Sampai saat ini sih saya tidak merasa punya kepentingan
apapun dengan kehadiran cluster-cluster tersebut. Tetapi sejak adanya mereka saya menjadi
semakin menyadari petapa pentingnya membangun kembali semangat
bertetangga. Akhirnya di acara pengajian
kami menggagas dimulainya “GERAKAN PEDULI TETANGGA”. Kami YAYASAN INSAN INDONESIA BERKARYA bekerja
sama dengan BKMT (Badan Kordinasi Majelis Taklim) mencoba menggugah masayarakat
terutama ibu-ibu untuk kembali kepada peduli kepada tetangganya. Setiap ibu kami minta menyetorkan data kondisi
tetangga-tetangganya yang sangat perlu dibantu.
Data itu kami bagi menjadi 5 kondisi utama yang sangat perlu dibantu,
meliputi : anak putus sekolah, rumah tidak layak huni, lansia tidak terurus,
orang sakit yang tidak dapat berobat, anak yatim/duafa yang sangat membutuhkan
bantuan untuk biaya sekolah. Dari data
tersebut maka kami akan dapat memetakan kondisi wilayah dan tindakan apa yang bisa
diambil. Kami tidak membawa uang
sepeserpun. Kami hanya menghimbau para
ibu yang berada di majelis taklim untuk peduli pada tetangganya. Dengan bermodal hadist, “Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah ia memuliakan tetangganya”.
Walaupun
program serupa itu juga sudah menjadi program Pemerintah Daerah, tapi pada
aplikasinya masih banyak masyarakat yang tidak terjangkau. Kami melihat bahwa kegemaran ibu-ibu berkumpul di
pengajian-pengajian kecil /taklim ini adalah sebuah potensi besar. Belum ada riwayatnya pengajian serupa itu
yang pernah bubar karena kekurangan jamaah.
Mereka solid dan sangat patuh kepada pimpinannya. Oleh karena itu saya yakin bahwa gerakan ini
akan berhasil dengan atas dukungan ibu-ibu anggota majelis taklim. Kami sebatas memberikan himbauan agar dalam
setiap pertemuan mereka menyishkan rejekinya 1000-2000 untuk dikumpulkan dalam
kas “PEDULI TETANGGA”.
Tidak semua perempuan bisa berkiprah di kancah politik, karier atau bisnis. Tapi setiap perempuan bisa menjadi pelopor kepedulian kepada tetangganya. Jadi setiap perempuan yang berdaya akan memberdayakan 160 KK yang ada disekitarnya. Semoga semangat ini akan terus bertahan. Dan 10-20 tahun yang akan datang, kita tidak akan menemui lagi perempuan dan masyarakat yang tidak berdaya.
Ini hanya langkah yang sangat
kecil. Tapi dari sinilah kita dapat ikut memulai merubah negeri ini.
Ini hanyalah gerakan akar rumput. Gerakan yang dilakukan oleh
masyarakat sebatas kemampuannya. Tapi setiap gerakan baik adalah
magnit. Yang akan menularkan dan menarik kebaikan yang
lain. Kebaikan-kebaikan kecil yang akhirnya terhimpun, insyaallah akan
menjadi potensi besar untuk dapat ikut memberikan perubahan baik bagi Negara
yang kita cintai bersama ini...... aamiiin.
Langganan:
Postingan (Atom)