Selasa, 05 Februari 2013

Regenerasi PETANI



Bisakah kita bayangkan jika 20-30 tahun yang akan datang tidak ada lagi pemuda yang tertarik untuk menjadi petani, peternak, petambak atau nelayan.  Atau dengan kata lain sektor agraris mejadi hal yang tidak lagi menarik bagi generasi  muda.  Saat dimana generasi muda lebih memilih untuk bekerja  menjadi buruh, tukang ojek atau bekerja di sektor-sektor informal sebagai pedagang kecil-kecilan dan lain-lain.  Saat inipun sebenarnya sudah menggambarkan krisis ketertarikan tersebut.    Desa-desa mulai ditinggalkan.  Daerah-daerah pesisir dan pedalaman mulai kehilangan pemudanya.  Dan para petani, peternak dan nelayan mulai menasehatkan kepada anaknya, “Sekolahlah yang benar Nak, agar suatu saat nanti kamu dapat menjadi orang yang berhasil tidak seperti bapak yang hanya menjadi petani/nelayan”.   Nelayan/petani yang beruntung bisa menyekolahkan anaknya berharap suatu saat nanti anaknya akan dapat menjadi pegawai  dan bukan nelayan/petani seperti dirinya.  Gambaran hidup menjadi petani atau nelayan menjadi menakutkan dan tidak menjadi alternatif pilihan hidup.

Jadi dapatkah dapatkah anda bayangkan jika 20-30 tahun yang akan datang tidak ada lagi beras, ikan, sayur mayur dan buah-buahan yang  diproduksi di dalam negeri.  Semua harus diimport dan didatangkan dari negara lain.  Maka makan ikan asin dengan sayur bayam sekalipun akan menjadi sajian yang mewah.  Tidak ada lagi sayur mayur, buah, beras, ikan, ayam, atau telur yang bisa dibeli dengan harga murah. 

Bagi mereka yang punya uang mungkin bisa bilang tidak peduli.  Tapi masihkah mereka tidak peduli jika orang di sekitarnya menjadi orang-orang yang buas karena kelaparan.  Mudah-mudahan tidak ya.  Dan mudah-mudahan juga kondisi itu tidak akan terjadi.  Tetapi gambaran pahit itu bukan berarti tidak mungkin terjadi di negara kita yang gemah ripah loh jinawi ini.   Di negara yang digambarkan sebagai surganya agribisnis karena tanaman apapun bisa tumbuh dengan subur.  Tapi sumberdaya alam yang subur ini tidak berarti apa-apa tanpa ada yang menggarap.

Sebelum terlambat….maka sekaranglah saatnya peduli. 

Saya pun sebagai alumni IPB, sangat-sangat malu karena sejak dulu tidak memilih untuk menggeluti sektor pertanian sebagai lahan bisnis maupun lahan saya dalam berkarya.  Baru dua tahun belakangan ini, bersama dengan PKBM INSAN KARYA, kami mulai membangun kembali semangat untuk menggerakkan sektor agraris.  Dimulai dari budidaya ikan air tawar, peternakan ayam kecil-kecilan dan penanaman sayur-mayur secara tumpang sari. 

Kami memulai usaha ini sebagai bagian dari  unit usaha PKBM INSAN KARYA dengan semangat membangkitkan kembali ketertarikan pemuda dalam sektor agraris.  Karena itu kami memilih bentuk usahanya sebagai kelompok tani.  Kami menamakannya Kelompok Tani Mina Insan Karya.  Kami mulai dengan menggabungkan 12 semangat anak-anak muda yang  didalamnya.


Mudah ?....tentu tidak.  Setelah memasuki sendiri sektor ini, kami baru menyadari betapa kerasnya perjuangan petani/peternak.  Dengan modal yang tidak bisa dibilang kecil, kami harus berhadapan dengan tingkat spekulasi yang sangat tinggi.  Kondisi alam, cuaca, hama, penyakit menjadi hal yang bisa datang tiba-tiba seperti sebuah bencana alam.

Kami dapat pelajaran pertama dengan hilangnya benih-benih lele hanya satu minggu setelah ditabur karena air sungai yang meluap.  Kami tidak pernah menyangka bahwa kondisi empang yang cukup dalam, masih bisa meluap ketika hujan sangat lebat.  Setelah itu baru kami memasang paranet disekitar empang.

Sedih ? ….. sangat.  Beberapa anggota kelompok tani malah memutuskan untuk keluar, karena merasa tidak yakin bahwa usaha budidaya ini akan berhasil.  Padahal pola usaha yang kami tawarkan sudah sangat memihak kepada petani penggarap.  Sebagai pemodal (Yayasan Insan Indonesia Berkarya), kami berkewajiban menyediakan tanah, benih dan pakan.  Dan sebagai petani penggarap mereka berkewajiban untuk memelihara dan merawat ikan yang kita budidayakan sampai siap dipanen.  Pada saat panen nanti pemodal hanya mendapatkan 30% dari keuntungan bersih dan petani penggarap mendapat sisanya.  


Jika anda bertanya apa yang kami dapatkan dalam hampir 2 tahun ini.  Secara materi…..tidak ada.  Tapi kami mendapat kepuasan atas terlaksananya idealisme kami untuk turut mengambil peran dalam lahirnya kembali petani-petani dan peternak-peternak muda.  Dan satu pelajaran yang sangat penting yang tidak akan kami lupakan adalah bahwa para petani dan peternak dan juga nelayan tentunya adalah pahlawan-pahlawan yang telah mengorbankan hidupnya untuk menjamin kelangsungan hidup kita semua.  Mereka rela jauh dari kemewahan.  Jauh dari kemajuan.  Jauh dari kenyamanan dan juga jauh dari rasa aman.  Hidup mereka seperti bertaruh.  Bertaruh dengan alam.  Bertaruh dengan cuaca dan bertaruh dengan hama dan penyakit.  Tidak yang dapat dipastikan dalam hidup mereka.  Ketika mereka berupaya sepanjang hidupnya untuk menjamin kita kenyang, mereka sendiri terkadang tidak tahu, harus makan apa besok.

Hiks….sedih.  padahal masih banyak dari kita yang tidak pernah rela membayar lebih untuk semua sayur, buah atau ikan yang dijual dipasar.  Kita hanya ingin semua tersedia dalam harga murah.   Maka saat ini, ditengah hujan yang deras menguyur negri….. marilah kita ingat petani  yang sedang sibuk membajak tanah tanpa memperdulikan badannya telah menyatu dalam lumpur dan hujan.

Saya pribadi sangat berharap dan berdoa agar suatu saat nanti pemerintah kita dan kita semua menjadi sangat  peduli terhadap sektor pertanian.  Dan suatu saat nanti petani –petani  kita dapat hidup sejahtera, dan dapat menggarap lahannya dengan bantuan teknologi modern.  Sehingga kita tidak perlu ketakutan dengan pepatah “tikus mati di lumbung padi”.   . 

Seharusnya menjadi hal yang aneh jika tanah yang subur dan luas ini tidak menjadi hal yang menarik untuk diusahakan sebagai lahan produksi.  Dalam sebuah lagu malah digambarkan “Tongkat dan batu pun jadi tanaman”.  Saya bukan orang pandai yang bisa merekomendasikan langkah-langkah akurat yang bisa diambil oleh pemerintah.  Saya hanya berharap suatu saat nanti pemerintah dan kita semua menjadi sangat  peduli terhadap sektor pertanian.  Dan suatu saat nanti petani –petani  kita dapat hidup sejahtera, dan dapat menggarap lahannya dengan bantuan teknologi modern.  Sehingga kita tidak perlu ketakutan dengan pepatah “tikus mati di lumbung padi” dan tidak ada lagi gambaran yang mengidentikkan petani/nelayan dengan kemiskinan.    

Tulisan ini saya buat hanya untuk menyentuh setiap hati agar peduli kepada petani/peternak dan nelayan.   Mudah-mudahan kepedulian itu akan menjadi tindakan nyata…..kecil atau besar, untuk menolong petani menjadi lebih sejahtera.   Dan juga membujuk para pemuda untuk kembali tertarik kepada sektor agraris.  Sehingga 10 tahun yang akan datang kita akan mendapati siswa-siswa di Sekolah Dasar menuliskan cita-citanya sebagai “petani”, “peternak” atau nelayan”

Gerakan PEDULI TETANGGA



Umar berkata,” Aku hampir mengira bahwa tetanggaku berhak atas harta warisanku.  Karena begitu seringnya Nabiullah berpesan untuk memuliakan mereka”. 

Tetangga adalah orang-orang yang terdekat dengan kita.  Dalam Islam diisyaratkan bahwa yang disebut  tetangga adalah 40 rumah di depan, 40 rumah di belalang, 40 rumah di samping kanan dan 40 rumah di samping kiri.   Waah banyak ya…. Coba sekarang kita hitung berapa tetangga yang sudah kita kenal dengan baik.  Berapa tetangga yang sudah pernah kita kunjungi.  Dan berapa tetangga yang punya hubungan cukup dekat.  Dan juga  berapa tetangga yang sudah kita sayangi dan kita anggap sebagai saudara sendiri.  Hehehe…. Malu ya.   Ternyata yang sudah kita kenal saja masih jauh dari target.  Apalagi yang sudah kita kunjungi…..jauh lebih sedikit.   Yang sudah kita anggap saudara ….aahhh,,, ada siih satu atau dua.  Padahal Nabi Muhammad pernah berpesan agar setiap kali kita memasak sayur yang menimbulkan aroma yang kuat, maka hendaknya lebihkan kuahnya agar dapat dibagikan kepada tetangga.  Waah,, apalagi yang itu.  Tradisi berbagi makanankepada tetangga mungkin masih kita rasakan waktu kita masih duduk di Sekolah Dasar dulu di era 70 an.   Dan tradisi itu sudah lama sekali mulai ditinggalkan secara bertahap oleh masyarakat.  Terutama oleh masyarakat yang sudah mengidentikkan dririnya dengan masyarakat perkotaan. 

Ternyata kehidupan kita sekarang, dari unsure  yang paling dekat saja sudah sangat jauh dari apa yang sudah dicontohkan Nabi.  Wajar jika kemudian semua permasalah bangsa menjadi semakin rumit dan berputar-putar.  Karena elemen terkecil dari masyarakat tidak lagi memenuhi apa yang telah dituntunkan.  “HORMATI TETANGGA”  tentu bukan hanya slogan yang mengharuskan kita tersenyum setiap melewati rumah tetangga.  Walaupun tata karma paling sepele inipun juga sudah mulai pudar.  Sebagian besar dari kita sudah menutup jendela mobil sejak keluar dari pagar rumah.  sampai-sampai tidak ada tetanggaa yang tahu pasti, sebenarnya siapa tetangganya.  Apalagi kalau slogannya kita geser sedikit menjadi “MARI PEDULI TETANGGA”.  Waah,  semakin jauh dari aplikasinya. 

Saya bersyukur bahwa saya tinggal di wilayah pedesaan yang tetangganya satu sama lain masih saling menyapa.  Dalam masyarakat yang semacam ini, maling sendalpun tidak bisa lolos di kampung kami.  Karena setiap orang yang melintasi jalan akan ditegur dengan kalimat klise “Mau kemana Neng ?”. “Mau kemana Pak/Bu?”.  Walaupun akhir-akhir ini karena perkembangan kota Tangsel yang sangat pesat, akhirnya desa damai kamipun ikut menjadi incaran para pengembang perumahan-perumahan kecil/cluster.  Anak saya menyebut cluster-cluster itu sebagai “rumah penjara” .
“Mama ada rumah penjara baru tuh sudah mulai dihuni”
“Hush, gak boleh ngomong gitu.  Nanti kalau orangnya dengar marah lho”
“Mereka gak bakalan dengar Ma.  Lha wong pagar tingginya aja gak pernah dibuka”
Cluster-cluster ini biasanya dibangun 6-10 rumah.  Dengan tembok tinggi dan pagar kokoh yang selalu tertutup.  Pagarnya pun diberi pembatas fiber gelap, sehingga kita yang lewat tidak bisa melihat aktifitas apapun yang ada di dalam cluster tersebut.  

Sampai saat ini sih saya tidak merasa punya kepentingan apapun dengan kehadiran cluster-cluster tersebut.  Tetapi sejak adanya mereka saya menjadi semakin menyadari petapa pentingnya membangun kembali semangat bertetangga.  Akhirnya di acara pengajian kami menggagas dimulainya “GERAKAN PEDULI TETANGGA”.  Kami YAYASAN INSAN INDONESIA BERKARYA bekerja sama dengan BKMT (Badan Kordinasi Majelis Taklim) mencoba menggugah masayarakat terutama ibu-ibu untuk kembali kepada peduli kepada tetangganya.  Setiap ibu kami minta menyetorkan data kondisi tetangga-tetangganya yang sangat perlu dibantu.  Data itu kami bagi menjadi 5 kondisi utama yang sangat perlu dibantu, meliputi : anak putus sekolah, rumah tidak layak huni, lansia tidak terurus, orang sakit yang tidak dapat berobat, anak yatim/duafa yang sangat membutuhkan bantuan untuk biaya sekolah.  Dari data tersebut maka kami akan dapat memetakan kondisi wilayah dan tindakan apa yang bisa diambil.  Kami tidak membawa uang sepeserpun.  Kami hanya menghimbau para ibu yang berada di majelis taklim untuk peduli pada tetangganya.  Dengan bermodal hadist, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah ia memuliakan tetangganya”.  


Walaupun program serupa itu juga sudah menjadi program Pemerintah Daerah, tapi pada aplikasinya masih banyak masyarakat yang tidak terjangkau. Kami melihat bahwa kegemaran ibu-ibu berkumpul di pengajian-pengajian kecil /taklim ini adalah sebuah potensi besar.  Belum ada riwayatnya pengajian serupa itu yang pernah bubar karena kekurangan jamaah.  Mereka solid dan sangat patuh kepada pimpinannya.  Oleh karena itu saya yakin bahwa gerakan ini akan berhasil dengan atas dukungan ibu-ibu anggota majelis taklim.  Kami sebatas memberikan himbauan agar dalam setiap pertemuan mereka menyishkan rejekinya 1000-2000 untuk dikumpulkan dalam kas “PEDULI TETANGGA”. 

Tidak semua perempuan bisa berkiprah di kancah politik, karier atau bisnis.   Tapi setiap perempuan bisa menjadi pelopor kepedulian kepada tetangganya. Jadi setiap perempuan yang berdaya akan memberdayakan 160 KK yang ada disekitarnya. Semoga semangat ini akan terus bertahan.   Dan 10-20 tahun yang akan datang, kita tidak akan menemui lagi perempuan dan masyarakat yang tidak berdaya.

Ini hanya langkah yang sangat kecil.  Tapi dari sinilah kita dapat ikut memulai merubah negeri ini.  Ini hanyalah gerakan akar rumput.  Gerakan yang dilakukan oleh masyarakat sebatas kemampuannya.  Tapi setiap gerakan baik adalah magnit.  Yang akan menularkan dan menarik  kebaikan  yang lain.  Kebaikan-kebaikan kecil yang akhirnya terhimpun, insyaallah akan menjadi potensi besar untuk dapat ikut memberikan perubahan baik bagi Negara yang kita cintai bersama ini...... aamiiin.